Kamis, 21 Oktober 2010

KOTA MAGELANG PASCA PROKLAMASI

A. Kondisi Umum Kota Magelang Pasca Proklamasi

Menurut letaknya, Magelang terletak antara 110˚- 01’- 51” Bujur Timur dan 110˚- 26’- 56” Bujur Timur dan 7˚- 19’- 13” Lintang Selatan dan 7˚- 42’- 14” Lintang Selatan, dengan batas-batas yaitu sebelah Utara Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang, sebelah Timur Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang, sebelah Selatan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Sleman (DIY), sebelah Barat Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.

Secara administratif berdasarkan letaknya termasuk daerah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa. Seperti daerah yang lain, Magelang merupakan suatu Kabupaten dan Kotamadya yang berada pada Karisedenan Kedu dan menjadi Kota pusat dari Karisidenan ini. Yang meliputi 5 Kabupaten dan 1 Kotamadya, yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen dan Kotamadya Magelang sebagai pusat administrasi dan pemerintahan Karisidenan Kedu.[1]

Berdasrkan hal tersebut, magelang merupakan kota yang cukup strategis karena menjadi jalur utama penghubung kota-kota besar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak jaman penjajahan Jepang Magelang terkenal sebagai kota Garnisun atau kota militer, sehingga pada waktu Agresi Militer Belanda I dan II selalu berusaha untuk dapat menduduki kota Magelang. Hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya peninggalan bangunan-bangunan militer sebagai pemusatan pasukan Jepang. Dengan segala upaya Belanda berusaha menguasai Magelang karena dengan di kuasainya magelang maka pasukan Belanda akan dengan mudah untuk maju membantu pasukannya yang berada di Yogyakarta.[2]

Selain itu Magelang termasuk daerah dataran tinggi karena ketinggiannya menjapai 360 m di atas permukaan laut dan juga diapit 4 gunung yaitu Gunung Sindoro, Sumbing dan Gunung Merapi, Merbabu. Dengan relief dataran Magelang yang terdiri dari bukit-bukit memungkinkan untuk melakukan gerilya karena daerah ini sulit di jangkau pasukan Belanda. Daerah-daerah ini meliputi daerah Windusari, Kajoran, Kaliangkrik, Grabag, Ngablak, dan Sawangan. Pasukan Belanda sering melakukan patroli sampai daerah-daerah tersebut, sehingga terjadi baku tembak diantara keduanya yang tidak dapat dihindarkan. Hal serupa pernah terjadi di Desa Genito Kecamatan Windusari, ketika itu pasukan Belanda sedang melakukan patroli bertemu dengan pager desa yang berjumlah 25 orang yang baru saja pulang dari kecamatan. Dalam perjalan kembali, mereka terkejut bertemu dengan pasukan Belanda yang telah mengepung dari 2 arah. Mereka tertangkap semua dan di bawa ke Magelang.

Daerah Magelang kondisi tanahnya yang subur serta di dukung dengan curah hujan yang tinggi dan iklim yang menguntungkan tiap tahunnya. Di samping itu juga Magelang di kelilingi pegunungan-pebunungan yang membujur dari Utara ke Selatan di sebelah Barat dan Timur Magelang sehingga banyak menghasilkan sayur-sayuran dan buah-buahan seperti di daerah Sawangan, Pakis, Kajoran, Kaliangkrik, dan Grabag. Sedangkan daerah Selatan Magelang sangat cocok untuk daerah pertanian dikarenakan tempat dan lokasinya berada di bawah lereng gunung Merapi, dan masyarakat dapat memanfaatkan abunya sebagai pupuk. Adapun daerah-daerah ini meliputi Sawangan, dan Salam serta daerah yang langsung berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Keadaan Sosial Ekonomi

Pada masa kependudukan Jepang, pertumbuhan penduduk Magelang tergolong tinggi karena dapat diketahui dari keadaan kesuburan tanahnya dan terdapat banyaknya kota-kota kawedanan yang cukup banyak. Pada tahun 1943 jumlah penduduk Magelang berkurang sangat signifikan dikarenakan terjangkitnya wabah cacar yang hamper terjadi di seluruh kecamatan dan khususnya generasi muda yang di kirim ke Ujung Kulon sebagai romusha oleh penjajahan Jepang. Kedua peristiwa ini tercatat dalam sejarah pertumbuhan penduduk dan sering diadakannya penelitian kembali guna mencari sebab musababnya. Sehubungan dengan jumlah penduduk magelang di tengah-tengahnya terdapat kotapraja Magelang yang merupakan pusat administrasi pemerintahan Karisidenan Kedu.[3] Kotapraja memiliki pola ketergantungan bersama wilayahnya di belakannya (hiterland) atau kota-kota kabupaten sebagai bagian dari Karisidenan Kedu, yaitu Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung sejak tahun 1806. Dalam kaitannya itu Kotapraja Magelang menjadi sangat potensial ekonomi untuk melayani penduduk kota sendiri.

Andil masyarakat pedesaan terhadap berbagai badan-badan perjuangan dan tentara resmi pemerintah Indonesia cukup mempunyai peran yang besar, khususnya dalam bantuan tenaga dan ekonomi. Sistem pertahanan bagi Indonesia sudah teperinci dalam perbedaan tugas antar massa rakyat, tentara, dan badan-badan perjuangan. Hubungan rakyat yang berada di garis belakang dengan mereka yang berada di depan garis depan menunjukkan hubungan-hubungan yang erat dan saling bahu membahu, seperti memberikan makan, menjadi penghubung, palang merah, menjadi anggota dapur umum. Semuanya itu memberikan arti untuk daerah Magelang bahwa selama periode ini masyarakat desa merupakan tulang punggung dalam perjuangan melawan kekuatan luar yang hendak mengusik Kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk mencukupi kebutuhan di garis depan di desa tulung didirikan dapur umum yang laangsung dibawah pengawasan Lurah Surya. Dari dapur umum inilah kebutuhan orang-orang yang berada di garis depan dipenuhi meskipun suplai bahan-bahan makanan di dapur umum tak lepas dari desa-desa luar kota Magelang.[4]

Sumbangan hasil bumi dari desa-desa disekeliling kota Magelang yang berupa beras, ternak, kayu bakar, dan sebagainya diserahkan langsung ke Lurah Tulung tanpa batas ketentuan besar kecilnya kemampuan desa. Pamong praja di daerah Magelang tidak pernah memberikan instruksidan ketentuan jumlah bahan makanan yang harus di sumbangkan ke Lurah Tulung, tetapi masyarakat memberikan segalanya yang berupa hasil bumi, ternak ataupun tenaga untuk kepentingan garis depan. Rakyat desa sadar bahwa cara semacam itu berarti mereka ikut berpartisipasi menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Potensi tersebut dalam kerangka-kerangka rangkaian pusat pembangunan Jawa Tengah Utara dan Timur serta Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan.

Dengan adanya latar belakang tersebut potensial sosial dan ekonomi Magelang meliputi beberapa aspek.

1. Sebagai pusat dan tujuan untuk hasil pertanian pangan dan non pangan dari kabupaten Magelang yang meliputi sayur-sayuran, buah-buahan, tembakau karena sudah menjadi pusat transit utama di kota-kota kecamatan.

2. Sebagai pusat dan tujuan administrasi Pemerintahan Kotamadya Magelang serta Kabupaten Magelang.

3. Sebagai pusat dan tujuan berbagai instansi dan markas militer yang berskalanasional.

4. Sebagai tempat yang dilalui kepadatan arus lalu lintas kendaraan bermotor yang antara lain Yogyakarta, Semarang, Banyumas, dan temanggung.

5. Sebagai tempat dan pusat permukiman yang memiliki nilai lebih yang menyangkut perumahan keluarga karena iklim dan letak kota serta keamanan kota yang menyebabkan biaya hidup menjadi relatif murah.[5]

Kelima aspek tersebut manarik bagi Belanda kerana apabila dapat menduduki Magelang maka dengan mudah pasukan Belanda bergerak maju menembus Yogyakarta. Mula-mula Belanda melakukan Agresi Militernya yang pertama, tetapi mengalami kegagalan karena pasukan Belanda tidak dapat menembus pertahanan TNI di desa Pingit kecamatan Pringsurat. Walaupun demikian kedudukan militer di Magelang makin diperkuat pertahannya karena Magelang merupakan benteng pertahanan terakhir bagi Ibu Kota Republik Indonesia. Maka dari itu daerah-daerah yang menjadi perbatasan langsung dengan pendudukan diperkuat pertahananya.[6]

Sementara itu terdengar dari pusat mengenai perundingan Renville antara pihak Republik Indonesia dan pihak Belanda yang salah satu isinya adalah mengosongkan kantong-kantong gerilya, terutama pasukan Divisi Siliwangi dan sebagaian pasukan dari Jawa Timur, mereka harus hijrah ke pedalaman atau masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Dengan adanya persetujuan Renville, perekonomian Republik Indonesia makin sulit dan berat, hal ini disebabkan adanya gelombang hijrahnya pasukan dari Divisi Siliwangi menuju Magelang. Pada hal Magelang sudah terlalu banyak menyangga perekonomian Republik Indonesia terutama bidang militer sejak Proklamasi Kemerdekaan hinga Agresi Militer Belanda Pertama. Pada hal ini rakyat sunggulah menderita, seskalai pun mereka menelan pil pahit.

Pada tanggal 14 Februari 1948, rombongan pertama pasukan divisi Siliwangi tiba di Magelang dengan berjumlah 445 orang, setelah naik kereta api dari Yogyakarta di bawah pimpinan Mayor Bambang Asmara dan Kapten Rivai.[7] Rombongan ke dua tiba pada tanggal 21 Febuari 1948 di Magelang dengan berjumlah 56 orang.[8] Magelang menampung rombongan tentara hijrah pada tanggal 4 Maret 1948 berjumlah 300 orang beserta keluargannya. Mereka adalah anggota Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) dari Tegal. Rombongan sebelumnya yaitu rombongan pertama sampai keenam yang telah tiba di Magelang dari Brigade Tarumanegara (Divisi Siliwangi) yang berjumlah 4000 orang beserta keluarganya.[9] Jumlah ini terhitung dengan penduduk diberbagai daerah gerilya yang di tinggalkan TNI, kemudian ikut mengungsi bersama pasukan hijrah ke tempat yang telah ditentukan sehingga menyebabkan Magelang manjadi padat.

Semakin bertambahnya penduduk ini semakin berpengaruh juga terhadap kehidupan sosial ekonomi penduduk Magelang, keadaan menjadi sulit dan kacau dikarenakan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang jumlahnya sedikit menjadi sulit ditemukan padahal kebutuhan pokok sehari-hari terus meningkat.[10] Keadaan ini mempengaruhi kehidupan penduduk karena mereka semakin sulit mendapatkan makanan dan pakaian. Biasanya mereka mempunyai pakaian yang melekat di badan saja. Keadaan yang memprihatinkan ini diperburuk dengan blokade ekonomi Belanda terhadap ekonomi Republik Indonesia. Blokkade ekonomi Belanda yang di maksud adalah larangan masuknya barang senjata, makanan baik melalui laut ataupun darat ke Republik Indonesia. Dimaksudkan supaya perekonomian Republik Indonesia makin lemah dan kacau. Kesulitan lain yang diderita oleh masyarakat Magelang adalah adanya peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) palsu yang dikeluarkan oleh Belanda, dengan maksud :

1. Untuk mengacaukan perekonomian daerah Republik Indonesia dan memblokade setiap kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat Republik Indonesia.

2. Menimbulkan kepercayaan terhadap uang sendiri.

3. Lebih merosotkan mata uang ORI dari NICA, baik di desa-desa maupun di daerah-daerah yang jauh dari kota karena pada waktu itu rakyat mempunyai seratus rupiah. Tindakan Belanda dalam memalsukan uang oleh Tan Malaka disebut sebagai “Perang Uang”.[11]

Penduduk Magelang apabila mendapatkan kebutuhan sehari-hari secara terpaksa harus membeli di daerah pendudukan Belanda, seperti di Ambarawa, Semarang, dan Salatiga dengan harga yang sangat mahal dan terlebih lagi mata uang ORI harus ditukar dengan mata uang Belanda dengan nilai yang lebih tinggi. Akibat dari pristiwa ini, pengaruh terhadap penduduk Magelang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari semakin sulit,terutama kebutuhan pokok seperti makanan, sabun, pakaian hal ini disebabkan karena melambungnya harga kebutuhan pokok di pasar.[12]

Keadaan semakin memburuk dengan makin memburuknya kondisi kesehatan penduduk, kesehatan penduduk pada waktu itu juga kurang baik. Hal ini bisa dilihat dari timbulnya wabah penyakit kulit, penyakit pes dan wabah malaria yang dapt dijumpai di setiap desa. Timbul dan menyebarnya wabah penyakit ini disebabkam oleh penduduk yang kurang bias menjaga kebersihan, dan sebab lain dikarenakan kurangnya saranan kesehatan yang memadai bagi penduduk sehingga untuk memperoleh pengobatan masih menggunakan ramuan obat-obatan tradisional. Di samping itu jumlah dokter dan manteri kesehatan masih belum terlalu banyak, walaupun ada pada umumnya mereka tinggal di perkotaan sehingga penduduk enggan mendatanginya. Keadaan pendidikan di Magelang tidak dapat berjalan lancar selama Agresi Militer Belanda pertama, disebabkan sebagian besar murud-murid mengungsi dan ada beberapa diantara mereka yang ikut Tentara Pelajar (TP), sedang guru banyak yang merangkap menjadi tentara sehingga pada waktu pasukan Belanda melakukan penyerangan, mereka langsung memasuki kantung-kantung gerilya kembali untuk membantu menyusun perlawanan melawan pasukan Belanda. Dengan demikian, sekolah-sekolah menjadi tutup dan tidak aktivitas belajar mengajar selama itu.[13] Kesempatan belajar bagi murid-murid yang masih sekolah hanya dilakukan di kantung-kantung gerilya. Sistem pendidikannya pun menganut dua jenjang, yaitu Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah. Untuk Sekolah Rakyat materi yang diberikan antara lain membaca, berhitung dan menulis, sedangkan Sekolah Menengah materi yang dipelajari antara lain dasar-dasar militer, menaksir dan tugas-tugas rahasia. Dalam pelaksanaanya langsung dikoordinasikan oleh masing-masing KODM di mana sekolah itu berada dan mendatangkan guru-guru kecamatan maupun yang sedang mengungsi.

Begitu keadaan mulai aman, maka banyak sekolah-sekolah yang dibuka kembali. Usaha membuka sekolah ini, dimulai dengan pembukaan Sekolah Menengah Atas Peralihan (SMAP) dan juga dibuka Sekolah Kepandaian Putri (SKPN) Magelang 4 Febuari 1948 ditutup dan dibuka kembali tanggal 19 April 1948.

C. Keadaan Politik

1. Jaman Pendudukan Belanda

Pada permulaan tahun 1806, seorang perwira Inggris memegang kendali pemerintah di daerah Magelang memilih kota yang terdapat built Tidar sebagai ibukota kabupaten, sedangkan Regent atau Bupatinya adalah Raden Ngabehi Danoekromo, tetapi pada tahun 1885 Bupati Magelang wafat, elanjutnya beliau memperoleh gelar Raden adipati Danoeningrat I. Kemudian sejak tahun 1816, Kabupaten Magelang diperintah secara turun temurun oleh keturunan Adipati Danoeningrat I, yang antara lain Raden Adipati Danoeningrat II, Raden Tumenggung Danoeningrat, Raden Adipati Danoekoesoemo, sedangkan Bupati Magelang yang kelima adalah Raden Adipati Soegondo sejak tahun 1905 memerintah di Magelang.[14]

Sampai tahun 1905, Indonesia pada waktu itu bernama Netherland Indie Belanda yang terbagi menjadi beberapa gewestan[15] diantaranya Magelang termasuk di dalamnya Kedoe Gewest yang daerahnya meliputi regenscap (Kabupaten) Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, dan Karanganyar. Setelah dilakukannya Desentralisatie Besluit tahun 1905, maka gewesten tersebut diberi otonomi penuh.

2. Jaman Pendudukan Jepang

Menurut Undang-Undang Nomor 27 (Undang-Undang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah) seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua Koci Surakarta dan Yogyakarta, dibagi menjadi atas syu, syi, ken, gun, son, dan, ku. Daerah syi sama dengan daerah stasdgemeente[16] daerah ken sama dengan Kabupaten, daerah gun sama dengan daerah kawedanan, daerah son sama dengan order distrik atau kecamatan, dan ku sama dengan desa atau kelurahan. Selaku kepala daerah syu, syi, ken, gun, dan ku masing-masing diangkat seorang syuco, syico, kenco, gunco, dan kuco. Dengan pembagian diatas, maka propinsi-propinsi seperti halnya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur di hapuskan.[17]

Pada masa pendudukan Jepang daerah Magelang sudah termasuk Kabupaten atau ken yang mempunyai otonomi penuh dengan R.A.A Sosrodiprodjo sebagai Bupati atau kenco Magelang. Kabupaten Magelang adalah merupakan bagian dari Kerisidenan Kedu (syu kedu) dengan Residen (syutyokan) Raden Panji Soeroso, yang membawahi Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, Kabupaten kebumen, Kabupaten Magelang, dan Kotapraja (syi) Magelang.[18]

3. Jaman kemerdekaan

Menjelang Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, bapak-bapak pembentuk Negara (Founding Father)[19] kita melakukan serangkaian kegiatan untuk pembentukan Indonesia Merdeka. Salah satu kegiatannya adalah merumuskan dasar negara, hal ini mereka lakukan dalam rapat-rapat Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPPKI). Dalam diskusi-diskusi mengenai dasar-dasar Negara tersebut terungkap, bagaiman pendapat para bapak pembentuk Negara kita mengenai dasar yang seyogyanya diberikan kepada Indonesia merdeka. Dari berbagai diskusi dapat disimpulkan, bahwa dasar Negara Indonesia merdeka adalah kekeluargaan, atau terkadang juga disebut gotong royong.[20] Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu, keadaan ini dimanfaatkan oleh golongan muda untuk segera mempersiapkan proklamasi kemerdekaan karena Indonesia dalam keadaan vakum kekuasaan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Pada pagi harinya tanggal 18 Agustus 1045, PPPKI mengadakan sidang untuk menentukan langkah selanjutnya. Dalam sidang itu memperoleh hasil memilih Presiden dan wakil Presiden, yaitu Soekarno dan Moh. Hatta serta mengesahkan UUD 1945. Sidang kedua, pada tanggal 19 Agustus 1945 merencanakan pembentukan tentara Kebangsaan.[21] Tetapi rencana tersebut oleh para pimpinan nasional dikatakan, bahwa pembentukan sebuah kesatuan tentara nasional pada saat itu bisa mengundang kekuatan serikat terhadap kemerdekaan yang telah diproklamasikan.

Sementara itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia belum sampai diterima oleh masyarakat Magelang. Dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, tengah malam sampai dengan jam 05.00 WIB, barisan pelopor mengadakan rapat membahas persiapan-persiapan perubahan politik di Magelang, setelah mendrngar berita pasukan Jepang menyerah kepada sekutu. Dalam pertemuan tersebut R.A.A. Sosrodiprodjo menghimbau kepada seluruh anggota barisan pelopor, agar tertap tenang dalam menghadapi situasi sekarang ini.

Bersamaan itu, beliau mengetahui sesungguhnya perubahan politik yang terjadi di Jakarta maupun daerah Republik Indonesia yang lain pada tanggal 21 Agustus 1945, setelah syotyokan Raden Panji Soeroso baru saja datang dari Jakarta. Sehubungan dengan itu Barisan Pelopor mulai bergerak bersama rakyat ke tempat kediaman Raden Panji Soeroso pada tanggal 3 September 1945 jam 21.00 WIB. Mereka menuntut kepada baliau untuk mengumumkan secara resmi kemerdekaan Republik Indonesia kepada rakyat Magelang dan menyatakan kebulatan tekat Karisidenan Kedu menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia.[22] Raden Panji Soeroso mengumumkan berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menyatakan kebulatan tekat Karisidenan Kedu menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Bersamaan dengan itu beliau menghimbau kepada seluruh rakyat Magelang untuk jangan terlalu gembira guna menjaga perasaan pasukan Jepang yang kalah perang dengan pasukan sekutu.

Sementara itu, sejak kekalahan Jepang terhadap sekutu, seluruh pasukan Jepang yang berada di Indonesia menunggu pengembalian ke Negara asalnya yang akan dilaksanakan oleh Negara yang memenagkan. Dengan demikian selama menunggu pengembalian pasukan, Jepang tetap melakukan penjagaan keamanan dan ketertiban status quo sebelum diambil alih oleh sekutu.

Selanjutnya, bagi Negara yang baru saja memperoleh kemerdekaan tentunya rakyat tersebut berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa ada yang mencampurinya. Hal ini dilakukan pula oleh rakyat Indonesia dengan berusaha mengambil alih semua aktifitas baik aktifitas pemerintahan sipil maupun militer. Sehubungan dengan itu ada instruksi dari pusat tentang pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Desember 1945. Demikian halya di Magelang dibentuk BKR, yang kebanyakan anggotanya berasal dari KNIL maupun Peta dan Heiho, antara lain Moh. Sarbini, A. Yani, Maryadi, Kun Khamdani, Slamet Soedibyo, Soerjo Soempeno, Soeatman dan masih yang lain.[23]

Walaupun sudah ada instruksi dari pusat, kenyataannya angota BKR belum merasa puas terhadap keputusan itu karena tugasnya hanya menjaga keamanan dan ketertiban Negara. Padahal tugas angkatan bersenjata tidak hanya itu, tetapi setiap saat selalu siap sedia menghadapi kemungkinan bahaya dari ancaman pasukan asing. Lainhalnya dengan kegiatan barisan pelopor, yang setiap harinya melakukan perjalanan keliling Kotapraja Magelang untuk menyebarluaskan berita kemerdekaan kepada masa rakyat Magelang. Ada serombongan pemuda sedang melakukan perjalanan menuju Alun-alun Magelang untuk mengadakan apel sore. Dalam perjalanan mereka melihat dua tentara Jepang menurunkan bendera Merah Putih yang sedang dikibarkan. Dengan melihat peristiwa itu, mereka menjadi marah, yang selanjutnya menuntut supaya bendera itu dikibarkan kembali. Tetapi, pasukan Jepang yang sedang berjaga-jaga di depan hotel Nitaka tetap bersikeras tidak akan mengibarkan bendera Merah Putih dan diganti dengan mengibarkan bendera Hinomaru. Rombongan pemuda berusaha untuk mengibarkan kembali bendera Merah Putih namun pasukan Jepang telah mengepung mereka. Terjadilah perkelahian yang tidak imbang diantara mereka sehingga menyebabkan 3 pemuda Magelang meninggal terkena tembakan senapan Jepang.[24]

Kegiatan pemuda selanjutnya adalah melakukan upacara bendera di puncak bukit Tidar. Dalam upacara itu, mereka mengalami kebingungan karena tidak ada satupun yang membawa Bendera Marah Putih untuk dikibarkan. Kemudian atas inisiatif salah satu pemuda yang hadir menyarankan agar supaya menggunakan pakaian pemuda Selamet dan Gimin yang kebetulan mamakai pakaian merah dan putih. Setelah pakaian disambung, maka pengibaran bendera pun dilaksanakan pada jam 10.00 WIB. Besamaan dengan itu pasukan Jepang yang baru saja datang berusaha membubarkan upacara itu dengan paksa. Padahal upacara sedang berlangsung secara khitmat dan akibatnya 5 orang pemuda ditembak sebagai tanda peringatan bagi kebandelan mereka.[25]

Peristiwa lain yang tidak kalah hebatnya adalah pembantaian penduduk Dusun Tulung Magelang yang berjumlah kurang lebih 50 orang dibunuh secara kejam oleh pasukan Jepang. Di duga pasukan Jepang itu didatangkan dari Semarang karena pada pertengahan bulan Oktober sekutu sudah mengirimkan ke Semarang. Hal inilah yang melatarbelakangi terjadinya pertempuran 3 hari di Magelang.

Pada tanggal 31 Oktober 1945, Tentara Keamanan Rakyar dan Laskar Rakyat melakukan perlawanan terhadap sekutu di Magelang. Keesokan harinya pada tanggal 1 November 1945 datanglah bantuan yang terdiri dari 2 batalyon. Salah satu diantaranya adalah Kolonel Soedirman Komandan Divisi V, yang membawahi Kedu dan Banyumas. Sedangkan kedua batalyon itu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman, yang mana masing-masing batalyon tersebut di bawah pimpinan Letnan Pahal dan Letnan Kolonel Oemar Slamet, dan sejumlah Laskar rakyat, yang terdiri dari Tentara Lastar Mataram (TRM) di bawah pimpinan Bung Tardjo, di samping itu ada pula dari kesatuan Polisi Istimewa pimpinan Onny Sastroadmojo.[26] Dalam pertempuran, pasukan Sekutu berhasi dipukul mundur keluar dari kotapraja Magelang kearah Utara menuju Ambarawa pada tanggl 2 November 1945.[27] Setelah itu tanggal 8 November 1945 secara diam-diam pada malam hari pasukan Sekutu meninggalkan Magelang menuju ambarawa.

Lalu di daerah perbatasan antara daerah Ambarawa dengan Pingit ada upaya membangun pertahanan untuk menjaga kemungkinan pasukan Belanda melakukan penyerangan yang kedua kali. Rencana itu, teryata sudah ada yang memikirkan jauh sebelum terdengar berita pemindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Daerah yang paling cocok untuk pertahanan militer Magelang adalah desa Pingit kecamatan Pringsurat kerena daerah ini letaknya jauh dari Kotapraja Magelang. Selain itu alam sekitarnya sangat mendukung untuk penghadangan pasukan Belanda, jika melakukan penyerangan ke Yogyakarta. Keadaan seperti itu sudah dipersiapkan oleh Mayor A. Yani sejak tahun 1947.[28]

Selain itu di Desa Ngipik mendapat sorotan utama karena di tempat ini dibuat lubang yang berfungsi nutuk menimbun senjata berat. Rencananya senjata berat ini akan digunakan, apabila pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Magelang. Bersamaan dengan itu di bawah pimpinan Mayor A. Yani. Pada tanggal 21 Juli 1947 pasukan Belanda melakukan penyerangan ke daerah-daerah Republik, yang terkenal dengan nama Agresi Militer Belanda Pertama. Tujuan adanya penyerangan itu adalah sebagai berikut.

1. Politik : Pengepungan terhadap Ibukota Republik Indonesia dan penghapusan dari peta (de facto)

2. Ekonomi : perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat maupun Sumatra dan Pertambangan di Sumatra)

3. Militer : penghancuran TNI

Daerah Magelang pada waktu Agresi Militer Belanda pertama, tidak langsung melakukan kontak senjata dengan pasukan Belanda, tetapi pengaruhnya sampai ke Kota Magelang. Hal ini bias diketahui dari pengakuan Soekamdi, menurut beliau pasukan Belanda sudah merencanakan untuk mengadakan penyerangan ke Magelang dari markasnya yang berkedudukan di Srondol Semarang. Tetapi sebenarnya pasukan Belanda mengalami keragu-raguan karena mengira di sepanjang jalan yang melewati Desa Ngipik dan Desa Pingit dalam perjalanan akan dihadang oleh pasukan TNI, dengan mempertimbangkan daerah ini sangat berbahaya dan diantara pasukan tidak ada yang mengenal medan.[29]

Rencana pasukan Belanda tersebut sudah diketahui oleh TNI, maka pada tanggal 22 Juli 1947 pasukan dari batalyon 3 di bawah pimpinan Mayor A. Yani dikerahkan untuk melakukan persiapan-persiapan menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Adapun pasukan TNI yang dikerahkan adalah sebagai berikut.

1. Kompi Racmad di Desa Pingit, bertugas sebagai pasukan penghambat laju musuh.

2. Kompi Sarwo Edi Wibowo dan Kompi Ery Soepardjan di Desa Ngipik melakukan perlawanan sekuat-kuatnya, agar musuh tidak dapat menembus trek bob

Dua hari kemudian pada tanggal 24 Juli 1947, kurang lebih jam 09.00 WIB, terdengar suara iring-iringan kendaran lapis baja pasukan Belanda, yang terdiri dari tank, pankser, dan truk yang membawa pasukan bergerak menuju desa Pingit (garis pertahanan pertama). Sesampainya di desa Pingit, langsung pasukan kompi Racmad melakukan perlawanan sambil mundur ke garis pertahanan ke dua di desa Ngipik. Pasukan Belanda terus bergerak mengikuti gerak mundur pasukan TNI. Begitu sampai pada garis pertahanan ke dua pertempuran semakin seru. Hal ini disebabkan karena personil TNI di garis pertahanan kedua berjumlah banyak dan di samping itu merupakan pemusatan kekuatan pertahanan militer.[30]

Demikian halnya pasukan Belanda, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya seperti tank. Pankser, dan bahkan menggunakan pesawat capong berusaha menembus pertahanan militer di desa Pingit. Dalam pertempuran itu Belanda dapat dipukul mundur keluar dari kecamatan Pringsurat. Kemudian pasukan Belanda hanya mampu bertahan sampai di perkebunan Eva.[31]

Kemudian kedua belah pihak mengadakan genjatan senjata dan meneruskan ke meja perundinga. Di magelang perundingan antara pihak Belanda dan Republik Indonesia dilaksanakan di Kecamatan Ngablak bertempat di rumah raden Peospodihardjo. Perundingan itu sebagian realisasi perundingan renville yang ditanda tangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Pihak Republik yang mengirimkan wakilnya yang terdiri dari Letnan Kolonen Sarbini, Mayor A. Yani, dan Mayor Soerjo Soempeno. Sedangkan, wakil Belanda mengirimkan dua orang berpangkat mayor berkebangsaan Tionghoa dan Australia. Dalam perundingan itu pihak Belanda tetap bersikeras mempertahankan daerah-daerah yang berhasil direbut menjadi hak penuh Belanda dan Republik Indonesia harus mengakui garis demarkasi yang menjadi batas antara daerah pendudukan dengan daerah Republik Indonesi. Dengan demikian semakin sempit daerah Republik Indonesia meliputi daerah Jawa Tengah meliputi Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan daerah St


[1] Kantor Staristik Kabupaten Magelang. Kabupaten Magelang hasil Registrasi Penduduk Akhir 1993. Magelang: Pemda dan Kantor Statistik Kabupaten Magelang, 1992. hlm. 2.

[2] Madjiono. Sejarah Perjuangan Masyarakat Kota Magelang Di Masa Perjuangan Phisik Tahun 1945-1950. Magelang: Dewan Harian Cabang Angkatan 45. 2003.hlm.7.

[3] Ibid.hlm.15.

[4] Prijadji, Perjuangan Komando Distrik Militer dlam Menghadapi Class II, Skripsi. IKIP Press: tidak diterbitkan, 1997.hlm.32.

[5] Indriyani. Sistem Pemerintahan Gerilya Di Daerah Gunung Sumbing tahun 1948-1949. Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang, 1989, hlm.5

[6] Darto Harnoko, Magelang Pada Mas Revolusi Fisik Periode 1945-1949. Balai Kajian Sejarah. Yogyakarta, 1985, hlm.22

[7] Kedaulatan Rakyat. 16 Febuari 1948. hlm.1.

[8] Kedaulatan Rakyat. 27 Febuari 1948. hlm.1.

[9] Kedaulatan Rakyat. 5 Maret 1948. hlm. 3.

[10] Kodam VII/Diponegoro. Sejarah TNI AD Kodam VII/Diponegoro Sirnaning Yakso Gapuraning Ratu. Semarang. Yayasan Diponegoro. 1971, hlm. 272.

[11] Emi Wuryani. Perjuangan Magelang Pada Tahun 1948-1949. Skripsi Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1985, hlm 27.

[12] S. Parijah WR. Wawancara. 14 Maret 2010

[13] Darto Harnoko, op.cit, hlm. 23.

[14] Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Jawa Tengah, Jakarta: Depdikbud, 1978, hlm. 4.

[15] Gewestan adalah wilayah yang bersifat administratif.

[16] Stasdgemeente adalah Kotapraja atau Kotamadya.

[17] Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia jilid 6, Jakarta: Balai Pustaka. 1973, hlm. 10.

[18] Tim Riset Kabupaten Magelang. Naskah Perjuangan Rakyat Kabupaten Magelang. Magelang: BAPEDA, 1974 hlm. 62.

[19] Founding Father adalah

[20] Nugroho Notosusanto. Op.cit, hlm.34.

[21] Djamhuri, Ahmad, Saleh. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 sampai dengan sekarang). Jakarta: Lembaga Pusat Lembaga ABRI. 1971, hlm.1.

[22] Prijadji, Perjuangan Komando Distrik Militer dlam Menghadapi Class II, Skripsi. IKIP Press: tidak diterbitkan, 1997.hlm.41.

[23] Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, op.cit, hlm. 55.

[24] Madjiono. Sejarah Perjuangan Masyarakat Kota Magelang Di Masa Perjuangan Phisik 1945-1950, Magelang: Dewan Harian Cabang Angkatan 45, 2003, hlm. 12.

[25] Ibid. hlm. 15.

[26] Kodam VII/Diponegoro. Sejarah TNI AD Kodim VII/Diponegoro, Sirnaning Yakso Gapuraning Ratu. Semarang, Yayasan Diponegoro, 1971, hlm, 40.

[27] Moekhardi. 1983. Magelang Berjuang. Magelang: AKABRIDARAT. Hal.69.

[28] Pada tahun 1947 oleh Mayor Yani Komandan Batalyon II Resimen 19 dari Devisi III Diponegoro telah merencanakan untuk membuat pertahanan militer guna menghadapi serbuan pasukan Belanda yang sewaktu-waktu dating dari Semarang. Dalam pertahanan tersebut dibagi menjadi 3 garis lapisan, yang terdiri dari: 1. Garis Pertama di Desa Pingit. 2. Garis kedua di Desa Pingit. 3. Garis ketiga di Desa Pangonan. Tim Riset Pemda Kabupaten Magelang. 1974. Naskah Perjuangan Rakyar Kabupaten Magelang. Magelang. BAPEDA, hlm.142.

[29] Moedjanto, Indonesia abad ke 20 jilid I, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 15.

[30] A. Radjab. TRIP dan Brigade 17, Surabaya: Kasnendar Suminar, 1983, hlm. 32.

[31] Tim Riset Pemda Kabupaten Magelang. Naskah Perjuangan Rakyar Kabupaten Magelang. Magelang. BAPEDA. 1974. hlm.142-143.